Ada banyak hal menarik ketika saya menuliskan tentang hal ini. Hal tentang kita menjadi pengajar, dosen khususnya. Pertama, banyak dosen di Indonesia yang tidak mendapatkan materi tentang mengajar yang baik. Banyak di antara mereka yang belajar sendiri dari pengalaman yang didapatkan selama duduk pada bangku kuliah dan pengalaman bekerja sangat menentukan. Saya adalah termasuk dalam kelompok ini.
Menulis blog ini adalah sebagai salah satu upaya menyegarkan, menyemangati dan meyakinkan diri sendiri bahwa pilihan menjadi dosen tidaklah salah. Selain itu, menulis pengalaman merupakan upaya rekonstruksi kesadaran dan praktik yang selama ini seakan-akan menjadi pembenaran dan tanpa mempertanyakan lagi mengapa seperti ini atau apalah.
Hal ini mirip dengan “agama” yang oleh filsuf China disebut dengan “knack” (sebuah tendensi untuk melaksanakan sesuatu, sebuah ketangkasan) (Amstrong, 2009). Knack dapat diilustrasikan ketika seorang pande besi membuat pisau secara tradisional. Ketika besi yang telah dipanaskan dipukul dengan lembut, maka pisau yang bagus tidak akan dihasilkan. Namun, ketika pukulan yang dilakukan terlalu bersemangat, maka si pande besi akan cepat merasa capek. Apa yang dilakukan? Dia menemukan pukulan yang menurut dia pas, untuk menghasilkan pisau yang bagus. Dia memukulnya dengan hati. Dia menemukan kesulitan untuk menjelaskan, tetapi dia mengetahuinya. Itulah knack, ketangkasan.
Kedua, kelompok ini pun jarang dengan sadar dan sengaja meluangkan waktu untuk mempelajari teknik pembelajaran. Kesibukan akademik dan beban administratif lain seringkali menjadi alasan. Meskipun, sebetulnya banyak bahan bacaan, forum, dan media lain yang dapat dijadikan inspirasi.
Namun demikian, dosen yang mendapatkan pelatihan atau pendidikan yang cukup terkait dengan pembelajaran pun, tidak serta merta dijamin akan dapat menjadi dosen yang baik. Ada unsur personalitas, filosofi, dan keseriusan dosen.
Seseorang dengan personalitas khusus seringkali tidak cocok menjadi dosen, atau paling tidak untuk waktu tertentu. Gaya mengajar tahun 1980an sangat mungkin sudah tidak cocok dengan selera tahun 2000an. Waktu berjalan, tuntutan berkembang, selera zaman berubah. Dosen harus menyesuaikan, tanpa mengorbankan prinsip-prinsip utama pengajaran. Hal ini semakin berat untuk bidang ilmu yang berkembang dengan pesat, seperti teknologi informasi.
Mencari role model yang tepat, seringkali akan sangat membantu membentuk persepsi bagaimana harus menjadi pengajar. Mungkin dosen Anda yang sangat sukai sewaktu kuliah, pembicara konferensi yang Anda kagumi, penceramah pengajian yang menakjubkan, atau mungkin dosen imajinatif dari banyak film Holywood.
Filosofi menjadi seorang dosen juga akan sangat mempengaruhi bagaimana peran dimainkan. Saya termasuk yang setuju, bahwa tujuan pendidikan pada hakekatnya adalah membentuk manusia. Semua aspek harus disentuh, dalam konteks perguruan tinggi, mulai dari (1) membantu pengembangan individu mahasiswa, (2) meningkatkan pemahaman mahasiswa terhadap aturan-aturan sosial dan moral, dan (3) mentransmisikan pengetahuan.
Ketiga hal ini dicapai dengan implementasi ketiga prinsip dalam pendidikan, yaitu (1) to grow, increase, (2) to be refined, disciplined, cultured, dan (3) to know, be informed, perceive, discern. Ketiga prinsip ini dapat diterjemahkan ke dalam turunan-turunan yang masuk ke dalam kurikulum, termasuk metode dan lingkungan pembelajaran.
Tujuan tertinggi pendidikan (learning to live together) adalah menjadikan manusia berkembang yang didasarkan pada pemahaman terhadap lingkungannya, sejarahnya dan nilai-nilai tradisi dan spiritualnya. Dengan demikian diharapkan dapat terbentuk semangat baru yang membimbing pada kesadaran akan meningkatnya interdependensi dan tidak lagi mungkin manusia hidup terisolasi dan tercerabut dari konteks sosial.
Perkembangan ilmu pengetahuan yang sangat cepat, mengharuskan learning to know dapat dikelola dengan baik. Learning to do tidak hanya dilakukan untuk menjadikan manusia siap kerja, tetapi lebih dari itu, hasil dari proses ini haruslah memberikan kompetensi bekerja dalam tim dan adaptasi dalam beragam situasi. Pilar learning to be didasarkan pada kesadaran bahwa manusia pada dasarkan sangat potensial dan potensi harta karun ini harusnya dapat digali melalui proses pembelajaran.
Filosofi akan menentukan keseriusan. Keseriusan memainkan peran dosen akan terkait dengan komitmen.
wasalam