Akankah Lato-Lato Menjadi Sebuah Budaya?
Mengawali tahun 2023 atau bahkan dimulai dari sebelumnya, di negeri ini diramaikan dengan demam permainan lato-lato. Lato-lato adalah mainan yang terbuat dari bahan plastik terdiri dari dari dua bola kecil atau bandulan pendulum dan disambungkan dengan seutas tali atau benang nilon. Pada bagian tengahnya terdapat sebuah cincin yang berfungsi sebagai pegangan untuk menggerakkan dua bandulan tersebut. Cara memainkannya pun nampak mudah, yakni dengan membenturkan dua bandulan tersebut sehingga menimbulkan suara tek-tek-tek.
Tak dapat dipungkiri bahwa pengaruh adanya media teknologi, membuat permainan lato-lato ini viral dari hari ke hari. Lato-lato yang awal mulanya banyak dimainkan oleh anak-anak, saat ini banyak sekali orang dewasa yang ikut memainkan lato-lato. Seperti yang dimuat dalam media elektronik, antara lain tentang “Gubernur dan Beberapa Pejabat Main Lato-Lato di Family Gathering Bappeda”, “Ketika Jokowi dan Ridwan Kamil Adu Mekanik Main Lato-Lato”, “Aksi Bupati Pandeglang Main Lato-Lato”. Hal ini menunjukkan bahwa permainan lato-lato menjamur dari berbagai kalangan usia.
Permainan lato-lato saat ini sering ditemui dimanapun, dan bahkan dapat dikatakan telah menjadi sebuah kebiasaan. Lalu jika lato-lato menjadi sebuah kebiasaan yang dilakukan oleh banyak orang, apakah kemudian memungkinkan permainan ini menjadi salah satu wujud budaya ? Dilansir dari Quartz, permainan lato-lato berasal dari Amerika Serikat yang dikenal dengan sebutan clackers, click-clacks, atau knokers. Pada awal tahun 70’an, ratusan pembuat mainan telah menjual jutaan clackers di seluruh dunia. Di Indonesia sendiri, clackers mulai populer pada tahun 1990-an dengan nama tek-tek. Kini permainan itu kembali populer dengan nama lato-lato yang berasal dari bahasa suku Bugis.
Permainan lato-lato dapat dikatakan sebagai produk dari pikiran manusia yang mungkin tujuan dari penciptanya adalah sebagai media hiburan. Fenomenanya saat ini di negeri ini adalah permainan tersebut menjadi sebuah kebiasaan bahkan bisa jadi cenderung berulang-ulang. Namun sependek pemahaman penulis, meskipun permainan lato-lato saat ini menjadi sebuah trend dan kebiasaan, namun untuk kemudian dikategorikan sebagai sebuah tradisi adalah belum cukup sebab tingkat urgensinya kurang untuk dilestarikan dari generasi ke generasi berikutnya. Tetapi jika dilihat dari kacamata budaya menurut Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi bahwa kebudayaan sebagai hasil karya, rasa dan cipta masyarakat, maka apakah kemudian permainan lato-lato yang jelas adalah daya cipta manusia ini bisa dikatakan sebagai bentuk dari budaya ?