Life StyleOpini
Trending

Cintai (dan benci) sesuatu sekadarnya saja

Seorang teman berkomentar, “Lho, bukannya Bapak A dulu benci sekali dengan institusi X, kok sekarang mengundang orang dari institusi tersebut.” Komentar yang jujur dan secara lugas mengungkapkan keheranan. Saya teringat komentar seorang kawan yang bijak, benci atau cinta harusnya bukan didasarkan pada emosi, tetapi karena Allah.

Imam Ali dalam Kitab Nahjul Balaghoh menyatakan semua syair yang syarat dengan nasehat. “Cintai apa yang kamu cintai sekadarnya saja, karena bisa jadi suatu hari nanti, kamu akan membencinya. Benci apa yang kamu benci sekadarnya saja, karena bisa jadi suatu hari nanti, kamu akan mencintainya.”

Memang kadang ada orang yang benci sesuatu atau seseorang sampai ke ubun-ubun. Sampai-sampai apapun yang dilakukan orang tersebut, meskipun benar, selalu terlihat salah. Obyektivitas tergadaikan, karena tertutup rasa benci yang tak terkendali. Begitu juga, tidak jarang karena saking cintanya kepada seseorang, seakan-akan apapun yang dilakukan terlihat benar. Anak muda punya adagium, “Kalau sudah jatuh cinta. Tai kucing serasa coklat”. Ops!

Jika kita harus membenci seseorang, yakinkan, yang Anda benci adalah perbuatannya, bukan orangnya. Jika hal itu terjadi pada hubungan profesional, pastikan Anda pisahkan dari perasaan emosional yang sifatnya personal. Karena dengan demikian, kita akan menempatkan sesuatu pada proporsinya.

Hubungan profesional harus dibedakan dengan hubungan personal. Seberapapun dekat secara personal, harusnya tidak menggugurkan kewajiban profesional. Kalau harus marah, marahkan secara profesional. Persis seperti seorang aktor yang marah ketika diperintahkan oleh sutradara. Kemarahan hilang seketika kata “cut” diteriakkan!

wasalam

Related Articles

Back to top button