OpiniUlasan
Trending

Dosen = Seniman

Mengajar: teknik, ilmu, atau seni? Tergantung dari sisi mana Anda memandang. Bisa tiga-tiganya. Coba Anda tambahkan ketiga kata tersebut di depan kata “mengajar” menjadi “teknik mengajar”, “ilmu mengajar”, dan “seni mengajar”. Nampaknya semua gabungan kata ini mempunyai nilai rasa yang bisa dicerna dengan logika.

Karena mengajar dapat dilihat sebagai seni, maka dengan segala kebebasan yang dimiliki, dosen seringkali disamakan dengan seniman. Seorang dosen, bebas memilih metode pembelajaran yang tepat, bebas mengisi silabi dengan materi yang dikuasainya, bebas meneliti topik yang menariknya, bebas bekerjasama dengan kolega yang dikehendakinya, dan kebebasan-kebebasan lainnya.

Kebebasan dalam contoh di atas adakan kebebasan dalam arti yang positif. Persis seperti kebebasan seorang pelukis memilih aliran dalam lukisan dan media lukis. Persis seperti musisi yang bebas memilih instrumen musik yang ingin dikuasai, mazhab musik (keroncong, dangdut, pop, R&B, jazz, rock, campursari) yang dikembangkan, dan bebas meramunya menjadi “adonan” musik baru (pop-dangdut, pop-rock). Atau, mungkin menjadi mazhab adaptasi seperti indo-rock.

Karena dosen adalah seorang seniman, seringkali diperlukan juga seni dalam mengatur dosen. Sebagai contoh, mazhab yang dianut dalam mengajar perlu diakomodasi dan kebutuhan yang terkait dengan kreativitasnya dalam mengajar perlu didukung. Prestasi dan “hasil karya” dosen juga perlu diapresiasi.  Bagaimana merumuskan cara mengakomodasi, mendukung, dan memberikan apresiasi adalah sebuah seni tersendiri. Tidak ada resep matang, seperti resep rendang dan opor ayam, yang dapat diterapkan di semua konteks. Konteks harus diadaptasi, tidak cukup diadopsi, karena seniman Yogyakarta tentu akan berbeda dengan seniman Cirebon, misalnya.

Related Articles

Back to top button