Jika Anda bertanya kepada seseorang: apakah ada yang hal lain yang penting bagi dia selain kebahagiaan? Saya kok termasuk yang yakin bahwa jawabannya adalah tidak ada. Semua yang dilakukan nampaknya muaranya ke sana. Yang berbeda hanya bagaimana mendefinisikan dan mengukur kebahagiaan. Kebahagiaan biasanya muncul karena seseorang mempunyai atau menjalankan sesuatu yang disukainya.
Beberapa orang mendefinisikan kebahagiaan dengan nuansa materialisme yang sangat kental. Orang bahagia jika semua kebutuhan materinya terpenuhi. Tingkatannya pun beragam. Seorang penjual gorengan, sudah merasa bahagia ketika gorengan yang dijual hari itu laris manis. Seorang pemulung merasa bahagia ketika Anda memberikan dua plastik penuh kemasan air mineral yang Anda kumpulkan. Seorang karyawan merasa bahagia jika ada gaji ke-16. Seorang kontraktor merasa bahagia jika proyek yang bernilai milyaran rupiah itu lolos. Caleg merasa bahagia ketika mendapatkan kursi legislatif yang telah lama diimpikannya. Anda bisa menambah daftar panjang ini.
Beberapa yang lain, mendefinisikan kebahagiaan melampai batas-batas materi. Kebahagiaan adalah ketika mereka merasa dapat bermanfaat untuk orang lain. Seorang anak kecil merasa bahagia ketika dapat membuatkan mamanya telur dadar sendiri. Seorang pendidik merasa puas dan bahagia ketika anak didiknya menjadi orang sukses. Orangtua merasakan kemikmatan yang luar biasa ketika anak-anaknya tumbuh dengan sempurna dan beretika. Oppie Andaresta mengatakan, “I’m single and very happy”. Seorang mahasiswa S1 merasa sangat senang ketika pendadaran berjalan lancar. Seorang mahasiswa S3 merasa bahagia ketiga tulisannya terpublikasi di jurnal internasional ternama.
Jika ingin mengemas kebahagiaan secara lebih ilmiah, silakan tengok, misalnya, konsep capability approach yang dikembangkan oleh Amartya Sen, ekonom pemenang Nobel dari Cambridge. Dia mengkaitkan pembangunan dengan kekebasan (development as freedom). Pembangunan yang berhasil akan menjadikan orang dapat mengembangkan kapabilitas (capability) yang dipunyainya menjadi functioning. Kapabilitas adalah peluang, dan functioning adalah realisasinya.
Mempunyai makanan adalah kapabilitas, tetapi memamfaatkan makanan untuk tumbuh dan berkembang adalah functoning. Seseorang mungkin memilih opsi lain, tidak memanfaatkan kapabilitasnya, misalnya dengan melakukan aksi mogok makan. Mempunyai sepeda adalah kapabilitas, dan functioning terjadi ketika sepeda dapat membantu mobilitas kita. Bagi kawan-kawan yang disable, dengan sepeda normal, maka functioning akan sulit terwujud. Dan… dampak dari fuctioning atau functioning final adalah kebahagiaan.
Kalau pembangunan tidak dapat membuat orang merasa bebas dalam meraih kebahagiannnya, maka tidak sulit untuk menyebut bahwa pembangunan telah gagal. Mau contoh? Anda dapat membuat daftar panjang ratusan kilometer contoh pembangunan yang gagal di sini.
Anda sangat mungkin mempunyai konseptualisasi kebahagiaan tersendiri. Saya yakin itu. Apapun konseptualisasi itu, tak seorang pun di dunia ini yang menyalahkan Anda. Yang membedakan hanya satu: apakah kebahagiaan tersebut langgeng atau menuju kepada kebahagian yang lain, atau justru diikuti dengan penyesalan. Nampaknya tidak sulit untuk memprediksinya. Lagi-lagi ini tergantung dengan horison waktu yang Anda anggap penting. Apakah hari ini saja, satu tahun, satu dekade, sampai mati, atau bahkan melewati batas kematian. Anda yang menentukan.
Sudahkah Anda menemukan kebahagiaan?